Minggu, 17 Mei 2015

PIZZA RASA SERABI, By : BUYA GUSRIZAL GAZAHAR (Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat)

"Pizza Rasa Serabi"

Seolah-olah seperti itu mereka melihat tilawah al-Qur'an sehingga akan bermunculan berbagai irama tilawah "lokal" yang dimulai dengan "tilawah berirama jawa" di istana negara. Jadi jangan heran bila kemudian ada pula yang latah melahirkan "tilawah al-Qur'an berirama saluang".
Tampaknya Al-Qur'an sudah menjadi objek tidak lagi menjadi subjek dan sangat kental terasa nuansa permainan politik yang mulai menyentuh Kitab Suci Umat Islam. Na'udzu billah min dzalik.

Karena itu jangan heran bila ini menjadi perdebatan di kalangan qurra' dan para ulama.
Bisa jadi, memang ini yang dituju oleh sutradara yang memunculkan masalah ini yaitu menyibukkan umat dengan berbagai masalah yang tidak akan membawa kemashlahatan baik untuk dunia maupun akhirat. Dalam bahasa pengamat politik, pengalihan issu namanya.

Sebenarnya masalah ini biasanya dibahas ulama dalam dua qadhiyah (kasus) yaitu qadhiyyah taghanniy bil Qur'an (mendendangkan al-Qur'an) dan qadhiyyah tilawatul Qur'an bi luhun ghair al-'arabiyyah (membaca al-Qur'an dengan selain irama Arab).

Dalil-dalil yang dikemukakan biasanya adalah adalah ayat-ayat yang menjelaskan Al-Qur'an adalah عربيا dan disampaikan oleh Rasul saw dengan لسان عربي

Adapun hadits-hadits yang dijadikan dalil disamping hadits-hadits al-taghanniy dan tazyiin al-shaut adalah hadits Hudzaifah ibn al-Yaman yang diriwayatkan oleh al-Tirmidziy al-Hakim(Bukan Imam al-Tirmdziy pengarang kita al-Sunan) dalam kitab Nawadir al-Ushul. Hadits ini dianggap lemah oleh banyak ahli hadits walaupun al-Imam Ibn al-Qayyim cenderung berhujjah dengan hadits ini.

Kalau mau ditinjau pandangan ulama dlm hal ini, ditemukan dua pendapat.

Bila dilakukan teori muqaranah dengan "tahrir mahal al-khilaf" maka ditemukan para ulama bersepakat bahwa mengiramakan tilawat al-Qur'an yang berakibat melanggar kaedah tilawah sehingga menyelewengkan makna adalah haram.

Tinggallah area ikhtilaf di antara ulama dalam masalah ini antara melarang dan membolehkan dengan berbagai syarat yang berporos pada jawaban tiga pertanyaan berikut:
1. Apakah yang dimaksud dalam tilawah itu al-lahnu atau tidak ?
2. Apakah terjadi takalluf atau tidak ?
3. Apakah tazyiin al-shaut fi tilawat al-Qur'an atau Al-Qur'an yuzayyin al-shaut ?

Nah, kalau dibahas tentu tidak akan melahirkan satu pendapat.

Karena itu, kita harus melihat lebih jauh.
Apa yang dituju sebenarnya dengan memunculkan masalah ini ?
Sepertinya ada team di belakang Menag atau Presiden yang sengaja memakai point ini untuk tujuan tertentu.
Karena itu sebaiknya kita tidak terperangkap dg perdebatan masalah ini karena bisa jadi ini yang mereka tuju dengan menyentuh hal yg sangat sensitif yaitu Al-Qur'an al-Karim.
Apa ini tidak ada hubungannya dengan SLIPS dan wacana menampilkan Islam ala Indonesia yang pernah diungkap dalam konfrensi Umat Islam di jogja dan Pertemuan Raja-raja Nusantara ?

Lebih baik kita hadapi yang ushul karena
إذا بطل الأصول بطل ما يتفرع منه
"Bila asal batal maka segala cabang dari asal itu juga batal"

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar