Minggu, 17 Mei 2015

ORANG ISLAM MEWARISI DARI KAFIR DZIMMI MENURUT HANAFIYAH

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang memegang peranan yang sangat penting berkaitan dengan peralihan sesuatu, baik berwujud benda ataupun bukan benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini dalam literatur hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti: faraid, fikih mawaris, dan hukum al-waris.

Kewarisan sebagai sebuah bentuk peralihan kepemilikan harta atau benda-benda lainnya dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup merupakan bentuk peralihan yang diakomodir dalam Islam. Bentuk peralihan itu memperoleh kekuatan hukum baik dari al-Qur’an maupun hadis. Alasannya kerena sudah merupakan sunatullah bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, sedangkan orang yang meninggal itu memiliki harta dan sanak keluarga yang masih hidup. Salah satu tujuan peralihan itu agar tidak terbengkalai setelah terjadinya kematian pemilik harta. Adakalanya kematian itu disebabkan oleh faktor usia yang sudah tua, terserang penyakit, akibat kecelakaan, atau sebab-sebab yang lain.
Menurut ketentuan hukum Islam, hak untuk memperoleh kewarisan didasarkan atas adanya hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Hubungan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi, yakni:

1. Hubungan Nasab (pertalian darah)

Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat kelahiran. Kewarisan berdasarkan hubungan nasab atau berdasarkan pertalian darah mencakup semua ahli waris yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian harta dalam Islam tidak membedakan seseorang dalam kewarisan baik dari segi fisik maupun status sosial kecuali karena pertalian darah semata. Bahkan bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya dengan keadaan hidup, memiliki hak yang sama dengan ahli waris yang sudah dewasa dalam menerima harta warisan.

2. Hubungan Perkawinan
Pernikahan yang sah menurut Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan perempuan. Selama pernikahan itu masih berlangsung, masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Setelah dilakukan akad nikah yang sah antara suami isteri sekalipun belum terjadi persetubuhan maka kedua belah pihak (suami isteri) mempunyai sebab adanya hak saling mewarisi. Menurut Hanafiyah perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan laki-laki untuk ber-istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.

3. Karena Wala’
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan karena seseorang memerdekakan budak (hamba sahaya) atau melaui perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan yang lain. Wala’ dalam bentuk pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah / ushubah-sababiyah (kewarisan karena memerdekakan seorang budak), sedangkan wala’ dalam bentuk kedua disebut dengan wala’ul muwalah (kewarisan karena adanya perjanjian tolong-menolong atau sumpah setia). Wala’ yang dapat mewarisi yaitu wala’ yang berdasarkan sukarela.

Akan tetapi, adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan. Sebab di samping adanya sebab, serta terpenuhinya syarat dan rukun, keberadaan hukum tersebut masih tergantung kepada hal lainnya yaitu bebas dari segala penghalang dan dalam hubungannya kepada pewaris tidak ada kerabat yang lebih utama dari padanya. Hubungan antara sebab dengan penghalang kewarisan terdapat perbincangan di kalangan ulama ushul fikih. Perbincangan itu timbul dalam memahami sangkut paut antara tiga hal, yaitu: sebab, hukum dan penghalang. Adanya sebab seharusnya hukum pun ada. Akan tetapi dengan adanya penghalang, maka hukum tidak terjadi atau dengan arti hukum tidak ada.
Orang yang terhalang mendapatkan warisan adalah orang yang terpenuhi sebab-sebab kewarisan, tetapi dia memiliki satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapatkan warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi kewarisan yaitu:

a. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

b. Pembunuhan
Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris membunuh pewarisnya secara zalim, maka disepakati bahwa dia tidak mewarisinya. Adapun selain pembunuhan secara sengaja, para ulama memperselisihkannya. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa setiap pembunuhan menghalangi kewarisan, meskipun dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan meskipun dilakukan dengan alasan yang hak, seperti had dan qishash. Sementara itu, mazhab Maliki berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi kewarisan adalah pembunuhan secara yang zalim, baik langsung maupun tidak langsung. Mazhab Hanbali berpendapat pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan tidak dengan hak, sedangkan pembunuhan dengan hak tidak menjadi penghalang, sebab pelakunya bebas dari sanksi akhirat. Menurut mazhab Hanafi, bahwa pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan yang dikenai sanksi qishash, sedangkan pembunuhan yang tidak berlaku padanya qishash (kalaupun disengaja seperti dilakukan anak-anak atau dalam keadaan terpaksa) tidak menghalangi kewarisan.

c. Perbedaan Agama
Para ahli fikih telah bersepakat bahwa, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang kewarisan. Berlainan agama antara Islam dengan agama selain Islam.
Maksud dari halangan perbedaan agama di sini ialah antara orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi, artinya seorang muslim tidak mewarisi harta pewaris non-muslim, begitu pula non-muslim tidak mewarisi harta pewaris yang muslim.
Adapun yang menjadi dasar dari halangan ini hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhari yaitu:

حدثنا أبو عاصم, عن ابن جريج, عن ابن شهاب, عن علي بن حسين, عن عمر بن عثمان, عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم: لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم(رواه البخاري)

Artinya:” Disampaikan Abu ‘Asyim, dari ibn Juraj, dari ibn Shihab, dari ‘Ali bin Husain, dari ‘Umar bin ‘Usman, dari Usamah bin Zaid berkata Nabi SAW: seorang Muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang Muslim” (H.R. Bukhari)


Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang kewarisan. Jadi, seorang muslim tidak dapat mewarisi ahli warisnya yang non-muslim, begitu juga sebaliknya. Pendapat demikian dikemukakan oleh ulama-ulama termasyur dari golongan sahabat, tabi’in, dan imam-imam mazhab yang empat (al-Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi).
Petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu pada QS. al-Maidah (5) :5
Artinya:”(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Q.S. al-Maidah:5)

Mengingat bahwa antara hak kewarisan dengan hak perkawinan rapat hubungannya, maka dalam menghadapi hadis Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-muslim terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Semua mujtahid sama pendapatnya bahwa non-muslim tidak dapat mewarisi dari seorang muslim, hal ini sesuai dengan hadis Nabi tersebut di atas. Terkait dengan muslim mewarisi dari non-muslim tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Hanafiyah orang muslim boleh mewarisi dari kafir dzimmi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan juga dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘Ala ad-Duur al-Muhtar Syarh Tanwil al-Abshar menyatakan:
ير ث المسلم الكافر فان الذمى الذى لا وارث له فى دار الاسلام يرثه المسلمون
Artinya: “ Orang muslim boleh mewarisi harta orang kafir maka orang kafir dzimmi yang tidak mempunyai ahli waris di daerah Islam maka boleh orang muslim mewarisi hartanya.”

Akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang muslim. Melihat perbedaan pendapat dan bertolak belakangnya pendapat Hanafiyah di atas maka disini penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “ Orang Islam Mewarisi dari Kafir Dzimmi Menurut Hanafiyah“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar