PIN BBM : 75006FEB | twitter : @hary_nopi | email : pyher_tjoeroep@yahoo.co.id | facebook : hary_tjoeroep@yahoo.co.id | instagram : hary_nopi
Rabu, 05 Agustus 2015
Sabtu, 30 Mei 2015
Senin, 25 Mei 2015
Minggu, 24 Mei 2015
Senin, 18 Mei 2015
THAHARAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kesucian (thaharah) dan kebersihan. Sebagian dari amalan-amalan dan kewajiban-kewajiban syar'i tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan dengan bersuci (thaharah). Di dalam fiqih agama Islam, selain terdapat kebersihan dan kesucian yang senantiasa merupakan hal yang penting, terdapat pula jenis pensucian yang khusus, yaitu wudhu dan mandi yang disebut pula dengan thaharah, di mana kadangkala memiliki hukum wajib dan kadangkala mustahab. Hukum-hukum thaharah, segala sesuatu yang mensucikan (muthahirat), tata cara pensucian tubuh, pakaian dan benda-benda lainnya, demikian juga segala sesuatu yang najis dan tidak suci, dan segala hal yang berkaitan dengan persoalan ini, akan dijelaskan dalam bab yang bernama thaharah.
Thaharah adalah pembahasan yang sangat penting dalam kehidupan ini terlebih bagi kita ummat Islam, hampir di seluruh kitab fiqih dapat kita temui tentang pembahasan ini. Pembahasan ini juga selalu didahului dari pembahasan-pembahasan lain didalam kitab-kitab fiqh. Hal ini membuktikan betapa Islam sangat memandang penting tentang hal ini.
Mungkin sebagian dari kita masih bertanya-tanya, apa sih thaharah itu? Di dalam kitab Fath al-Qarib karangan Syeikh Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, kata "thaharah" secara bahasa berarti "nazhafah", yaitu bersih atau suci. Sedangkan jika dibaca "thuharah" maka ia berarti sisa air yang dipergunakan untuk bersuci.
Adapun thaharah manurut syar'i dikalangan para ahli fiqih memiliki banyak pengertian, diantaranya ialah suatu perkara yang mambolehkan seseorang untuk malaksanakan sholat, seperti wudhu, mandi (janabah), tayamum, menghilangkan najis, dan lain-lain. Dan disebagian kitab fiqih yang lain, thaharah berarti suci dari hadats dan najis.
Banyak bab-bab dalam dunia fiqih yang berhubungan erat dalam pembahasan thaharah ini, dari bab najis, bab wudhu, serta bab sholat. Dalam thaharah ini sangat manjadi bagian yang tak bisa dilepaskan atau dikesampingkan. Disamping itu Allah SWT. juga menjelaskan tentang kecintaannya terhadap orang-orang yang bersuci, hal itu dijelaskan oleh Allah SWT. Di dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah ayat 222, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Walaupun telah banyak dari berbagai ulasan yang kita perhatikan di atas yang menunjukkan pentingnya pembahasan tentang thaharah ini, namun masih banyak dari umat ini yang sangat meremehkan tentang pembelajaran thaharah. Padahal jika kita perhatikan dari segala aspek kehidupan atau ibadah kita sehari-hari, thaharah adalah kunci utama dari seluruhnya. Misalnya, dapat kita perhatikan dari hal syarat sah ibadah sholat yang selalu kita dirikan setiap hari juga di dasari dari thaharah (suci), yaitu suci dari hadats dan najis.
Bab thaharah adalah bab yang sering kita temui di dalam kehidupan kita dan memiliki pembahasan global, dari pembahasan tentang macam-macam air, pembagian air, pembagian najis, cara menghilangkan najis, istinja', adab buang air, wudhu, mandi serta tayamum.
Wudhu’ adalah cara menghilangkan hadas kecil yang dilakukan ketika akan mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah lain yang menjadikan wudhu’ sebagai salah satu syaratnya, sehingga shalat dan ibadah-ibadah lain itu tidak sah jika pelakunya tidak dalam keadaan suci.
Para Fuqaha (ahli fiqih) mengartikan wudhu’ sebagai pekerjaan menggunakan air yang dibasuhkan pada anggota-anggota badan tertentu yang diawali dengan niat. Perintah ini sejalan dengan perintah yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah: 6)
Kemudian dalam Hadits Rasulullah SAW. juga disebutkan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله لا يقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasul SAW. bersabda, Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu apabila berhadas hingga ia suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam melakukan wudhu’ ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain harus menggunakan air yang suci dan mensucikan, semua anggota wudhu’ (muka, tangan, kepala dan kaki) yang wajib dibasuh harus benar-benar rata terbasuh (tidak terdapat kotoran atau benda penghalang yang menghalangi sampainya air pada anggota wudhu’), dan orang yang berwudhu’ hendaknya memahami seluk-beluk berwudhu’. Wudhu’ juga harus dilakukan mengikuti rukun-rukun sebagai berikut, yaitu:
1. Niat berwudhu’ untuk menghilangkan hadas kecil yang pelaksanaannya bersamaan dengan permulaan membasuh muka.
2. Membasuh muka, artinya mengalirkan air ke seluruh kulit muka. Batas muka panjangnya dari puncak kening sampai dagu dan lebarnya sampai batas telinga kiri dan kanan.
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
4. Menyapu kepala, sebagian atau seluruhnya.
5. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
6. Tertib, maksudnya pelaksanaan membasuh anggota-anggota wudhu’ itu sesuai dengan urutan yang tersebut dalam surat al-Maidah ayat 6.
Pelaksanaan wudhu’ yang tidak memenuhi syarat dan rukun dipandang tidak sah menurut agama.
Orang yang telah berwudhu’ dipandang suci dari hadas, akan tetapi ada beberapa hal yang dapat menghilangkan kesucian itu, yang disebut dengan nawakid al-wudhu’ (yang membatalkan wudhu’). Jika seseorang mengalami salah satu dari yang membatalkan wudhu’ itu, ia wajib mengulang wudhu’nya apabila hendak melakukan shalat. Firman Allah SWT. menjelaskan apabila seseorang hendak melaksanakan shalat harus berwudhu’. Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT. berfirman:
“Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. al-Maidah: 6)
Adapun beberapa hal yang membatalkan wudhu’ di antaranya keluar salah satu dari dua jalan qubul dan dubur, seperti buang air kecil, buangair besar, kentut,mani, wadi dan madzi, tidur nyenyak yang menyebabkan seseorang hilang ingatan, hilang akal, dan menyentuh langsung kemaluan tanpa batas atau penghalang.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kesucian (thaharah) dan kebersihan. Sebagian dari amalan-amalan dan kewajiban-kewajiban syar'i tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan dengan bersuci (thaharah). Di dalam fiqih agama Islam, selain terdapat kebersihan dan kesucian yang senantiasa merupakan hal yang penting, terdapat pula jenis pensucian yang khusus, yaitu wudhu dan mandi yang disebut pula dengan thaharah, di mana kadangkala memiliki hukum wajib dan kadangkala mustahab. Hukum-hukum thaharah, segala sesuatu yang mensucikan (muthahirat), tata cara pensucian tubuh, pakaian dan benda-benda lainnya, demikian juga segala sesuatu yang najis dan tidak suci, dan segala hal yang berkaitan dengan persoalan ini, akan dijelaskan dalam bab yang bernama thaharah.
Thaharah adalah pembahasan yang sangat penting dalam kehidupan ini terlebih bagi kita ummat Islam, hampir di seluruh kitab fiqih dapat kita temui tentang pembahasan ini. Pembahasan ini juga selalu didahului dari pembahasan-pembahasan lain didalam kitab-kitab fiqh. Hal ini membuktikan betapa Islam sangat memandang penting tentang hal ini.
Mungkin sebagian dari kita masih bertanya-tanya, apa sih thaharah itu? Di dalam kitab Fath al-Qarib karangan Syeikh Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, kata "thaharah" secara bahasa berarti "nazhafah", yaitu bersih atau suci. Sedangkan jika dibaca "thuharah" maka ia berarti sisa air yang dipergunakan untuk bersuci.
Adapun thaharah manurut syar'i dikalangan para ahli fiqih memiliki banyak pengertian, diantaranya ialah suatu perkara yang mambolehkan seseorang untuk malaksanakan sholat, seperti wudhu, mandi (janabah), tayamum, menghilangkan najis, dan lain-lain. Dan disebagian kitab fiqih yang lain, thaharah berarti suci dari hadats dan najis.
Banyak bab-bab dalam dunia fiqih yang berhubungan erat dalam pembahasan thaharah ini, dari bab najis, bab wudhu, serta bab sholat. Dalam thaharah ini sangat manjadi bagian yang tak bisa dilepaskan atau dikesampingkan. Disamping itu Allah SWT. juga menjelaskan tentang kecintaannya terhadap orang-orang yang bersuci, hal itu dijelaskan oleh Allah SWT. Di dalam al-Qur'an, Surat al-Baqarah ayat 222, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Walaupun telah banyak dari berbagai ulasan yang kita perhatikan di atas yang menunjukkan pentingnya pembahasan tentang thaharah ini, namun masih banyak dari umat ini yang sangat meremehkan tentang pembelajaran thaharah. Padahal jika kita perhatikan dari segala aspek kehidupan atau ibadah kita sehari-hari, thaharah adalah kunci utama dari seluruhnya. Misalnya, dapat kita perhatikan dari hal syarat sah ibadah sholat yang selalu kita dirikan setiap hari juga di dasari dari thaharah (suci), yaitu suci dari hadats dan najis.
Bab thaharah adalah bab yang sering kita temui di dalam kehidupan kita dan memiliki pembahasan global, dari pembahasan tentang macam-macam air, pembagian air, pembagian najis, cara menghilangkan najis, istinja', adab buang air, wudhu, mandi serta tayamum.
Wudhu’ adalah cara menghilangkan hadas kecil yang dilakukan ketika akan mengerjakan shalat dan ibadah-ibadah lain yang menjadikan wudhu’ sebagai salah satu syaratnya, sehingga shalat dan ibadah-ibadah lain itu tidak sah jika pelakunya tidak dalam keadaan suci.
Para Fuqaha (ahli fiqih) mengartikan wudhu’ sebagai pekerjaan menggunakan air yang dibasuhkan pada anggota-anggota badan tertentu yang diawali dengan niat. Perintah ini sejalan dengan perintah yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah: 6)
Kemudian dalam Hadits Rasulullah SAW. juga disebutkan:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله لا يقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasul SAW. bersabda, Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu apabila berhadas hingga ia suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam melakukan wudhu’ ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain harus menggunakan air yang suci dan mensucikan, semua anggota wudhu’ (muka, tangan, kepala dan kaki) yang wajib dibasuh harus benar-benar rata terbasuh (tidak terdapat kotoran atau benda penghalang yang menghalangi sampainya air pada anggota wudhu’), dan orang yang berwudhu’ hendaknya memahami seluk-beluk berwudhu’. Wudhu’ juga harus dilakukan mengikuti rukun-rukun sebagai berikut, yaitu:
1. Niat berwudhu’ untuk menghilangkan hadas kecil yang pelaksanaannya bersamaan dengan permulaan membasuh muka.
2. Membasuh muka, artinya mengalirkan air ke seluruh kulit muka. Batas muka panjangnya dari puncak kening sampai dagu dan lebarnya sampai batas telinga kiri dan kanan.
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
4. Menyapu kepala, sebagian atau seluruhnya.
5. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
6. Tertib, maksudnya pelaksanaan membasuh anggota-anggota wudhu’ itu sesuai dengan urutan yang tersebut dalam surat al-Maidah ayat 6.
Pelaksanaan wudhu’ yang tidak memenuhi syarat dan rukun dipandang tidak sah menurut agama.
Orang yang telah berwudhu’ dipandang suci dari hadas, akan tetapi ada beberapa hal yang dapat menghilangkan kesucian itu, yang disebut dengan nawakid al-wudhu’ (yang membatalkan wudhu’). Jika seseorang mengalami salah satu dari yang membatalkan wudhu’ itu, ia wajib mengulang wudhu’nya apabila hendak melakukan shalat. Firman Allah SWT. menjelaskan apabila seseorang hendak melaksanakan shalat harus berwudhu’. Dalam surat al-Maidah ayat 6, Allah SWT. berfirman:
“Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. al-Maidah: 6)
Adapun beberapa hal yang membatalkan wudhu’ di antaranya keluar salah satu dari dua jalan qubul dan dubur, seperti buang air kecil, buangair besar, kentut,mani, wadi dan madzi, tidur nyenyak yang menyebabkan seseorang hilang ingatan, hilang akal, dan menyentuh langsung kemaluan tanpa batas atau penghalang.
Minggu, 17 Mei 2015
PIZZA RASA SERABI, By : BUYA GUSRIZAL GAZAHAR (Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat)
"Pizza Rasa Serabi"
Seolah-olah seperti itu mereka melihat tilawah al-Qur'an sehingga akan bermunculan berbagai irama tilawah "lokal" yang dimulai dengan "tilawah berirama jawa" di istana negara. Jadi jangan heran bila kemudian ada pula yang latah melahirkan "tilawah al-Qur'an berirama saluang".
Tampaknya Al-Qur'an sudah menjadi objek tidak lagi menjadi subjek dan sangat kental terasa nuansa permainan politik yang mulai menyentuh Kitab Suci Umat Islam. Na'udzu billah min dzalik.
Karena itu jangan heran bila ini menjadi perdebatan di kalangan qurra' dan para ulama.
Bisa jadi, memang ini yang dituju oleh sutradara yang memunculkan masalah ini yaitu menyibukkan umat dengan berbagai masalah yang tidak akan membawa kemashlahatan baik untuk dunia maupun akhirat. Dalam bahasa pengamat politik, pengalihan issu namanya.
Sebenarnya masalah ini biasanya dibahas ulama dalam dua qadhiyah (kasus) yaitu qadhiyyah taghanniy bil Qur'an (mendendangkan al-Qur'an) dan qadhiyyah tilawatul Qur'an bi luhun ghair al-'arabiyyah (membaca al-Qur'an dengan selain irama Arab).
Dalil-dalil yang dikemukakan biasanya adalah adalah ayat-ayat yang menjelaskan Al-Qur'an adalah عربيا dan disampaikan oleh Rasul saw dengan لسان عربي
Adapun hadits-hadits yang dijadikan dalil disamping hadits-hadits al-taghanniy dan tazyiin al-shaut adalah hadits Hudzaifah ibn al-Yaman yang diriwayatkan oleh al-Tirmidziy al-Hakim(Bukan Imam al-Tirmdziy pengarang kita al-Sunan) dalam kitab Nawadir al-Ushul. Hadits ini dianggap lemah oleh banyak ahli hadits walaupun al-Imam Ibn al-Qayyim cenderung berhujjah dengan hadits ini.
Kalau mau ditinjau pandangan ulama dlm hal ini, ditemukan dua pendapat.
Bila dilakukan teori muqaranah dengan "tahrir mahal al-khilaf" maka ditemukan para ulama bersepakat bahwa mengiramakan tilawat al-Qur'an yang berakibat melanggar kaedah tilawah sehingga menyelewengkan makna adalah haram.
Tinggallah area ikhtilaf di antara ulama dalam masalah ini antara melarang dan membolehkan dengan berbagai syarat yang berporos pada jawaban tiga pertanyaan berikut:
1. Apakah yang dimaksud dalam tilawah itu al-lahnu atau tidak ?
2. Apakah terjadi takalluf atau tidak ?
3. Apakah tazyiin al-shaut fi tilawat al-Qur'an atau Al-Qur'an yuzayyin al-shaut ?
Nah, kalau dibahas tentu tidak akan melahirkan satu pendapat.
Karena itu, kita harus melihat lebih jauh.
Apa yang dituju sebenarnya dengan memunculkan masalah ini ?
Sepertinya ada team di belakang Menag atau Presiden yang sengaja memakai point ini untuk tujuan tertentu.
Karena itu sebaiknya kita tidak terperangkap dg perdebatan masalah ini karena bisa jadi ini yang mereka tuju dengan menyentuh hal yg sangat sensitif yaitu Al-Qur'an al-Karim.
Apa ini tidak ada hubungannya dengan SLIPS dan wacana menampilkan Islam ala Indonesia yang pernah diungkap dalam konfrensi Umat Islam di jogja dan Pertemuan Raja-raja Nusantara ?
Lebih baik kita hadapi yang ushul karena
إذا بطل الأصول بطل ما يتفرع منه
"Bila asal batal maka segala cabang dari asal itu juga batal"
Wallahu a'lam.
Seolah-olah seperti itu mereka melihat tilawah al-Qur'an sehingga akan bermunculan berbagai irama tilawah "lokal" yang dimulai dengan "tilawah berirama jawa" di istana negara. Jadi jangan heran bila kemudian ada pula yang latah melahirkan "tilawah al-Qur'an berirama saluang".
Tampaknya Al-Qur'an sudah menjadi objek tidak lagi menjadi subjek dan sangat kental terasa nuansa permainan politik yang mulai menyentuh Kitab Suci Umat Islam. Na'udzu billah min dzalik.
Karena itu jangan heran bila ini menjadi perdebatan di kalangan qurra' dan para ulama.
Bisa jadi, memang ini yang dituju oleh sutradara yang memunculkan masalah ini yaitu menyibukkan umat dengan berbagai masalah yang tidak akan membawa kemashlahatan baik untuk dunia maupun akhirat. Dalam bahasa pengamat politik, pengalihan issu namanya.
Sebenarnya masalah ini biasanya dibahas ulama dalam dua qadhiyah (kasus) yaitu qadhiyyah taghanniy bil Qur'an (mendendangkan al-Qur'an) dan qadhiyyah tilawatul Qur'an bi luhun ghair al-'arabiyyah (membaca al-Qur'an dengan selain irama Arab).
Dalil-dalil yang dikemukakan biasanya adalah adalah ayat-ayat yang menjelaskan Al-Qur'an adalah عربيا dan disampaikan oleh Rasul saw dengan لسان عربي
Adapun hadits-hadits yang dijadikan dalil disamping hadits-hadits al-taghanniy dan tazyiin al-shaut adalah hadits Hudzaifah ibn al-Yaman yang diriwayatkan oleh al-Tirmidziy al-Hakim(Bukan Imam al-Tirmdziy pengarang kita al-Sunan) dalam kitab Nawadir al-Ushul. Hadits ini dianggap lemah oleh banyak ahli hadits walaupun al-Imam Ibn al-Qayyim cenderung berhujjah dengan hadits ini.
Kalau mau ditinjau pandangan ulama dlm hal ini, ditemukan dua pendapat.
Bila dilakukan teori muqaranah dengan "tahrir mahal al-khilaf" maka ditemukan para ulama bersepakat bahwa mengiramakan tilawat al-Qur'an yang berakibat melanggar kaedah tilawah sehingga menyelewengkan makna adalah haram.
Tinggallah area ikhtilaf di antara ulama dalam masalah ini antara melarang dan membolehkan dengan berbagai syarat yang berporos pada jawaban tiga pertanyaan berikut:
1. Apakah yang dimaksud dalam tilawah itu al-lahnu atau tidak ?
2. Apakah terjadi takalluf atau tidak ?
3. Apakah tazyiin al-shaut fi tilawat al-Qur'an atau Al-Qur'an yuzayyin al-shaut ?
Nah, kalau dibahas tentu tidak akan melahirkan satu pendapat.
Karena itu, kita harus melihat lebih jauh.
Apa yang dituju sebenarnya dengan memunculkan masalah ini ?
Sepertinya ada team di belakang Menag atau Presiden yang sengaja memakai point ini untuk tujuan tertentu.
Karena itu sebaiknya kita tidak terperangkap dg perdebatan masalah ini karena bisa jadi ini yang mereka tuju dengan menyentuh hal yg sangat sensitif yaitu Al-Qur'an al-Karim.
Apa ini tidak ada hubungannya dengan SLIPS dan wacana menampilkan Islam ala Indonesia yang pernah diungkap dalam konfrensi Umat Islam di jogja dan Pertemuan Raja-raja Nusantara ?
Lebih baik kita hadapi yang ushul karena
إذا بطل الأصول بطل ما يتفرع منه
"Bila asal batal maka segala cabang dari asal itu juga batal"
Wallahu a'lam.
KEHARAMAN MENGGAULI ISTERI DALAM 'IDDAH THALAQ RAJ'I DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT FIQH SYAFI'IYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah. Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan kata ba’in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan isterinya, kecuali dengan melalui akad nikah yang baru.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau isteri. Inilah yang sebenarnya yang dikehendaki dalam agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Terkait dengan hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut dengan thalaq.
Secara harfiyah thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Ulama mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatannya mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. Syafi’iyah dalam kitabnya Fath al-Mu’in menyatakan:
حل قيد النكاح بلفظ طلاق ونحوه .
Artinya: "Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya."
Menurut istilah, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah mendefinisikan thalaq dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan itu sendiri. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa thalaq adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafadz yang khusus. Menurut ulama Maliki, thalaq adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri. Menurut Mazhab Syafi'i, thalaq adalah pelepasan akad nikah dengan lafadz thalaq atau yang semakna dengan itu. Perbedaan definisi di atas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan thalaq raj'i pada isterinya.
Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat thalaq, kecuali ‘iddah isterinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jima’ dengan isterinya dalam masa ‘iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama Syafi'i mengatakan bahwa suami tidak boleh jima’ dengan isterinya yang sedang menjalani masa ‘iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.
Thalaq merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi juga hal yang bisa dihalalkan. Kenapa ini bisa dikatakan bolehnya thalaq atau tidak, beranjak dari sebuah Hadits Nabi dari Ibnu ‘Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, (status Hadits ini adalah Hadits dha’if) yang sabdanya sebagai berikut:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق . (رواه أبو داود وإبن ماجه)
Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ‘azza wa jalla ialah Thalaq.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Agar menjadi manusia yang paling disayangi oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya, untuk itu haruslah menempatkan thalaq pada posisi akhir ketika tiada pilihan lain. Itu berarti diharuskan melewati prosedur yang diajarkan agama Islam dan tahapan-tahapan yang digariskan oleh pembuat syari’at ini, suatu indikasi bahwa syari’at tersebut mempunyai komitmen yang tinggi bahwa perkawinan berlangsung sekali untuk selamanya. Oleh karena itu, hanya karena hal yang memang sulit dihindari saja.
Putusnya suatu ikatan perkawinan menimbulkan konsekwensi adanya masa tunggu yang wajib dijalani oleh isteri, baik putusnya perkawinan itu disebabkan perceraian atau karena kematian suami. Salah satu perceraian adalah suami men-thalaq isterinya karena tidak ada kecocokan lagi dalam rumah tangga mereka.
Seorang isteri yang di-thalaq oleh suaminya mempunyai kewajiban untuk menunggu beberapa hari, yang salah satu tujuannya adalah agar suami isetri dapat berpikir kembali apakah akan melanjutkan pernikahan kembali (ruju’) atau tidak, hal ini dalam Islam dikenal dengan masa menunggu bagi seorang isteri (‘iddah).
Ditinjau dari segi kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan isterinya, ada yang dinamakan dengan thalaq raj’i. Thalaq raj’i adalah thalaq yang si suami diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melaui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq raj’i itu adalah thalaq satu atau thalaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri.
Menurut as-Siba’i seperti yang dikutip oleh Abdur Rahman Ghazaly bahwa thalaq raj’i adalah thalaq yang untuk kembalinya bekas isteri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Setelah terjadi thalaq raj’i maka isteri wajib ber-iddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap isterinya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan thalaq menjadi thalaq ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada isterinya maka wajib dilakukan akad nikah.
Thalaq raj’i hanya terjadi pada thalaq satu dan dua saja, berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah: 229)
Ayat ini memberikan makna bahwa thalaq yang disyari’atkan Allah ialah Thalaq yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas isterinya setelah thalaq pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah thalaq kedua. Arti memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya ke dalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat dalam thalaq raj’i saja.
Tata cara suami merujuk isterinya ada yang berupa perkataan dan perbuatan. Ketika suami merujuk isterinya dengan perkataan, seluruh ulama fiqh sepakat membolehkan rujuk dengan perkataan. Akan tetapi dalam hal suami merujuk isterinya dengan perbuatan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa membolehkan suami mendatangi isterinya (mengggaulinya) dalam masa thalaq raj’i, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabshuth, yakni:
أن الطلاق الرجعى لا يحرم الوطء , ولكن لا يستحب له أن يطأها قبل الاشهاد على المراجعة لأنه يصير مراجعها لها من غير شهود .
Artinya: “Thalaq raj’i tidak mengharamkan hubungan suami isteri akan tetapi tidak dianjurkan untuk melakukan hubungan suami isteri tanpa adanya saksi bahwa mereka berdua telah rujuk, karena sah rujuk ketika wata’ tanpa ada saksi.”
Berbeda halnya lagi dengan pendapat Imam Malik, yang berpendapat bahwa rujuk boleh atau sah dengan perbuatan, yakni suami menggauli isterinya dengan syarat harus disertakan niat untuk rujuk. Kalau tidak disertakan bersamanya niat tersebut dalam menggauli isteri dalam masa thalaq raj’i, maka wanita tersebut tidak bisa kembali kepada suaminya. Menurut Imam Malik dalam kitab Bidaayah al-Mujtahid, beliau berpendapat:
لا تصح الرجعة بالوطء إلا إذا نوى بذلك الرجعة
Artinya: “Tidak sah ruju’ dengan melakukan hubungan suami isteri kecuali disertakan dengan niat untuk ruju’.”
Imam al-Syafi’i berpendapat di dalam kitabnya yakni al-Umm, yaitu sebagai berikut:
قال الشافعى : لا تكون الرجعة إلا بالقول .
Artinya: “Berkata Imam Syafi’i: Tidak ada rujuk itu, kecuali harus dengan perkataan”
Maksud dari pendapat Imam Syafi’i di atas adalah bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan (perkataan) dan bukan dengan perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk seorang suami terhadap isterinya tidak dinyatakan sah hingga ia mengucapkan perkataan yang bermakna rujuk. Di sisi lainnya, masih dalam konteks Syafi’iyah, adanya pemahaman dan pendapat Syafi’iyah dalam hal apabila terjadi hubungan suami isteri dalam masa ‘thalaq raj’i, hal ini dapat dipahami dari perkataan Syafi’iyah yang berpendapat:
يحرم التمتع برجعية ولو بمجرد نظر ولاحد ان وطئ بل يعزر .
“Haram bercumbu (berhubungan suami isteri) ketika isteri dalam masa talak raj’i, walaupun hanya semata menatap, namun tidak dikenai hukuman had (had zina) jika dia melakukan hubungan kelamin dengan isteri yang dithalaqnya tadi, tetapi dia dikenai hukuman ta’zir”.
Persoalan di atas yang menjadi permasalahan, dia haram untuk bergaul tetapi tidak dikenai hukuman had. Di satu sisi Syafi’iyah mengharamkan isteri untuk digauli oleh suaminya, tetapi disisi lain ketika isteri tersebut digauli dia tidak dikenai dengan hukuman had (had zina) melainkan yang dikenai adalah ta’zir.
Melihat pemahaman dan pendapat Syafi’iyah dalam hal haramnya suami menggauli isteri dalam masa thalaq raj’i dan apabila terjadi hubungan suami isteri tersebut, mereka tidak dikenai dengan hukuman had (had zina), melainkan mereka dikenai dengan hukuman ta’zir, penulis tertarik untuk menganalisis dan meneliti pendapat Syafi’iyah tersebut. Hal ini sangat perlu untuk diketahui karena merupakan dampak halal dan haramnya hubungan antara suami isteri yang telah bercerai. Penelitian ini akan penulis angkat dalam sebuah karya ilmiah yakni dalam bentuk skripsi dengan judul “ Keharaman Menggauli Isteri dalam Iddah Thalaq Raj’i dan Akibat Hukumnya Menurut Fiqh Syafi’iyah“
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah. Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan kata ba’in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan isterinya, kecuali dengan melalui akad nikah yang baru.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selama-lamanya sampai matinya salah seorang suami atau isteri. Inilah yang sebenarnya yang dikehendaki dalam agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Terkait dengan hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut dengan thalaq.
Secara harfiyah thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Ulama mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatannya mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. Syafi’iyah dalam kitabnya Fath al-Mu’in menyatakan:
حل قيد النكاح بلفظ طلاق ونحوه .
Artinya: "Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya."
Menurut istilah, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah mendefinisikan thalaq dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan itu sendiri. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa thalaq adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafadz yang khusus. Menurut ulama Maliki, thalaq adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri. Menurut Mazhab Syafi'i, thalaq adalah pelepasan akad nikah dengan lafadz thalaq atau yang semakna dengan itu. Perbedaan definisi di atas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan thalaq raj'i pada isterinya.
Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat thalaq, kecuali ‘iddah isterinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jima’ dengan isterinya dalam masa ‘iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama Syafi'i mengatakan bahwa suami tidak boleh jima’ dengan isterinya yang sedang menjalani masa ‘iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.
Thalaq merupakan sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi juga hal yang bisa dihalalkan. Kenapa ini bisa dikatakan bolehnya thalaq atau tidak, beranjak dari sebuah Hadits Nabi dari Ibnu ‘Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, (status Hadits ini adalah Hadits dha’if) yang sabdanya sebagai berikut:
عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق . (رواه أبو داود وإبن ماجه)
Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ‘azza wa jalla ialah Thalaq.” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Agar menjadi manusia yang paling disayangi oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya, untuk itu haruslah menempatkan thalaq pada posisi akhir ketika tiada pilihan lain. Itu berarti diharuskan melewati prosedur yang diajarkan agama Islam dan tahapan-tahapan yang digariskan oleh pembuat syari’at ini, suatu indikasi bahwa syari’at tersebut mempunyai komitmen yang tinggi bahwa perkawinan berlangsung sekali untuk selamanya. Oleh karena itu, hanya karena hal yang memang sulit dihindari saja.
Putusnya suatu ikatan perkawinan menimbulkan konsekwensi adanya masa tunggu yang wajib dijalani oleh isteri, baik putusnya perkawinan itu disebabkan perceraian atau karena kematian suami. Salah satu perceraian adalah suami men-thalaq isterinya karena tidak ada kecocokan lagi dalam rumah tangga mereka.
Seorang isteri yang di-thalaq oleh suaminya mempunyai kewajiban untuk menunggu beberapa hari, yang salah satu tujuannya adalah agar suami isetri dapat berpikir kembali apakah akan melanjutkan pernikahan kembali (ruju’) atau tidak, hal ini dalam Islam dikenal dengan masa menunggu bagi seorang isteri (‘iddah).
Ditinjau dari segi kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan isterinya, ada yang dinamakan dengan thalaq raj’i. Thalaq raj’i adalah thalaq yang si suami diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melaui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa iddah. Thalaq raj’i itu adalah thalaq satu atau thalaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri.
Menurut as-Siba’i seperti yang dikutip oleh Abdur Rahman Ghazaly bahwa thalaq raj’i adalah thalaq yang untuk kembalinya bekas isteri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Setelah terjadi thalaq raj’i maka isteri wajib ber-iddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap isterinya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan thalaq menjadi thalaq ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada isterinya maka wajib dilakukan akad nikah.
Thalaq raj’i hanya terjadi pada thalaq satu dan dua saja, berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah: 229)
Ayat ini memberikan makna bahwa thalaq yang disyari’atkan Allah ialah Thalaq yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas isterinya setelah thalaq pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah thalaq kedua. Arti memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya ke dalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat dalam thalaq raj’i saja.
Tata cara suami merujuk isterinya ada yang berupa perkataan dan perbuatan. Ketika suami merujuk isterinya dengan perkataan, seluruh ulama fiqh sepakat membolehkan rujuk dengan perkataan. Akan tetapi dalam hal suami merujuk isterinya dengan perbuatan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa membolehkan suami mendatangi isterinya (mengggaulinya) dalam masa thalaq raj’i, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabshuth, yakni:
أن الطلاق الرجعى لا يحرم الوطء , ولكن لا يستحب له أن يطأها قبل الاشهاد على المراجعة لأنه يصير مراجعها لها من غير شهود .
Artinya: “Thalaq raj’i tidak mengharamkan hubungan suami isteri akan tetapi tidak dianjurkan untuk melakukan hubungan suami isteri tanpa adanya saksi bahwa mereka berdua telah rujuk, karena sah rujuk ketika wata’ tanpa ada saksi.”
Berbeda halnya lagi dengan pendapat Imam Malik, yang berpendapat bahwa rujuk boleh atau sah dengan perbuatan, yakni suami menggauli isterinya dengan syarat harus disertakan niat untuk rujuk. Kalau tidak disertakan bersamanya niat tersebut dalam menggauli isteri dalam masa thalaq raj’i, maka wanita tersebut tidak bisa kembali kepada suaminya. Menurut Imam Malik dalam kitab Bidaayah al-Mujtahid, beliau berpendapat:
لا تصح الرجعة بالوطء إلا إذا نوى بذلك الرجعة
Artinya: “Tidak sah ruju’ dengan melakukan hubungan suami isteri kecuali disertakan dengan niat untuk ruju’.”
Imam al-Syafi’i berpendapat di dalam kitabnya yakni al-Umm, yaitu sebagai berikut:
قال الشافعى : لا تكون الرجعة إلا بالقول .
Artinya: “Berkata Imam Syafi’i: Tidak ada rujuk itu, kecuali harus dengan perkataan”
Maksud dari pendapat Imam Syafi’i di atas adalah bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan (perkataan) dan bukan dengan perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk seorang suami terhadap isterinya tidak dinyatakan sah hingga ia mengucapkan perkataan yang bermakna rujuk. Di sisi lainnya, masih dalam konteks Syafi’iyah, adanya pemahaman dan pendapat Syafi’iyah dalam hal apabila terjadi hubungan suami isteri dalam masa ‘thalaq raj’i, hal ini dapat dipahami dari perkataan Syafi’iyah yang berpendapat:
يحرم التمتع برجعية ولو بمجرد نظر ولاحد ان وطئ بل يعزر .
“Haram bercumbu (berhubungan suami isteri) ketika isteri dalam masa talak raj’i, walaupun hanya semata menatap, namun tidak dikenai hukuman had (had zina) jika dia melakukan hubungan kelamin dengan isteri yang dithalaqnya tadi, tetapi dia dikenai hukuman ta’zir”.
Persoalan di atas yang menjadi permasalahan, dia haram untuk bergaul tetapi tidak dikenai hukuman had. Di satu sisi Syafi’iyah mengharamkan isteri untuk digauli oleh suaminya, tetapi disisi lain ketika isteri tersebut digauli dia tidak dikenai dengan hukuman had (had zina) melainkan yang dikenai adalah ta’zir.
Melihat pemahaman dan pendapat Syafi’iyah dalam hal haramnya suami menggauli isteri dalam masa thalaq raj’i dan apabila terjadi hubungan suami isteri tersebut, mereka tidak dikenai dengan hukuman had (had zina), melainkan mereka dikenai dengan hukuman ta’zir, penulis tertarik untuk menganalisis dan meneliti pendapat Syafi’iyah tersebut. Hal ini sangat perlu untuk diketahui karena merupakan dampak halal dan haramnya hubungan antara suami isteri yang telah bercerai. Penelitian ini akan penulis angkat dalam sebuah karya ilmiah yakni dalam bentuk skripsi dengan judul “ Keharaman Menggauli Isteri dalam Iddah Thalaq Raj’i dan Akibat Hukumnya Menurut Fiqh Syafi’iyah“
KEHARAMAN MENGGAULI ISTERI DALAM 'IDDAH THALAQ RAJ'I DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT FIQH SYAFI'IYAH
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “ Keharaman Menggauli Isteri dalam Iddah Thalaq Raj’i dan Akibat Hukumnya Menurut Fiqh Syafi’iyah ” Disusun oleh Nopi Hariyanto, SHI, NIM. 308.239, yang penulis maksud dengan skripsi ini secara keseluruhan adalah “Apa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i dan apa akibat hukumnya”
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh tata cara suami merujuk isterinya ada yang berupa perkataan dan perbuatan, ketika suami merujuk isterinya dengan perkataan, seluruh ulama fiqh sepakat membolehkan rujuk dengan perkataan. Akan tetapi dalam hal suami merujuk isterinya dengan perbuatan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa membolehkan suami mendatangi isterinya (menggaulinya) dalam iddah thalaq raj’i, ulama Maliki berpendapat bahwa rujuk boleh atau sah dengan perbuatan, yakni suami menggauli isterinya dengan syarat harus disertakan niat untuk rujuk, apabila tidak disertakan niat tersebut dalam menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i maka wanita tersebut tidak bisa kembali kepada suaminya. Sedangkan menurut ulama Syafi’i berpendapat bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan (perkataan) dan bukan dengan perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk seorang suami terhadap isterinya tidak dinyatakan sah hingga ia mengucapakan perkataan yang bermakna rujuk, sedangkan ulama Syafi’iyah adalah ulama yang mengharamkan terjadinya hubungan suami isteri dalam iddah thalaq raj’i.
Berdasarkan latar belakang di atas, yang akan penulis teliti adalah Apa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i dan apa akibat hukumnya”. Penulis melakukan penelitian pustaka (library research) untuk menjawab persoalan di atas, yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis dan pendapat para pakar yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik sumber primer seperti dalam kitab Fath al-Mu’in, Syarah I’anah al-Thalibin dan sumber sekunder seperti buku Fiqh Sunnah, Hukum Perkawinan Islam dan buku yang relevan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i adalah: Pertama, Syafi’iyah memandang bahwa perceraian itu sama seperti ba’in, dan begitu juga halnya perkawinan membolehkan istimta’ (bercumbu) dan thalaq mengharamkan istimta’ (bercumbu), karena antara nikah dan thalaq saling berlawanan. Kedua menurut Syafi’iyah melakukan hubungan suami isteri dalam masa thalaq raj’i tergolong kepada salah satu dosa besar (kabaa’ir). Akibat hukumnya menurut fiqh Syafi’iyah adalah dikenai hukuman ta’zir, yang mana ta’zir merupakan sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak disebut bentuk had dan kaffarat-nya. Hal ini disyaratkan si pelaku tahu bahwa yang dilakukannya itu haram, dan meyakini bahwa yang dilakukannya betul-betul haram. Akan tetapi jika si pelaku tidak tahu bahwa yang dilakukannya itu haram, maka ia tidak dikenai hukuman ta’zir karena alasan ke-’uzur-annya.
Skripsi ini berjudul “ Keharaman Menggauli Isteri dalam Iddah Thalaq Raj’i dan Akibat Hukumnya Menurut Fiqh Syafi’iyah ” Disusun oleh Nopi Hariyanto, SHI, NIM. 308.239, yang penulis maksud dengan skripsi ini secara keseluruhan adalah “Apa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i dan apa akibat hukumnya”
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh tata cara suami merujuk isterinya ada yang berupa perkataan dan perbuatan, ketika suami merujuk isterinya dengan perkataan, seluruh ulama fiqh sepakat membolehkan rujuk dengan perkataan. Akan tetapi dalam hal suami merujuk isterinya dengan perbuatan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa membolehkan suami mendatangi isterinya (menggaulinya) dalam iddah thalaq raj’i, ulama Maliki berpendapat bahwa rujuk boleh atau sah dengan perbuatan, yakni suami menggauli isterinya dengan syarat harus disertakan niat untuk rujuk, apabila tidak disertakan niat tersebut dalam menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i maka wanita tersebut tidak bisa kembali kepada suaminya. Sedangkan menurut ulama Syafi’i berpendapat bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan (perkataan) dan bukan dengan perbuatan, seperti bercampur atau yang lainnya. Rujuk seorang suami terhadap isterinya tidak dinyatakan sah hingga ia mengucapakan perkataan yang bermakna rujuk, sedangkan ulama Syafi’iyah adalah ulama yang mengharamkan terjadinya hubungan suami isteri dalam iddah thalaq raj’i.
Berdasarkan latar belakang di atas, yang akan penulis teliti adalah Apa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i dan apa akibat hukumnya”. Penulis melakukan penelitian pustaka (library research) untuk menjawab persoalan di atas, yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis dan pendapat para pakar yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik sumber primer seperti dalam kitab Fath al-Mu’in, Syarah I’anah al-Thalibin dan sumber sekunder seperti buku Fiqh Sunnah, Hukum Perkawinan Islam dan buku yang relevan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa alasan Syafi’iyah mengharamkan menggauli isteri dalam iddah thalaq raj’i adalah: Pertama, Syafi’iyah memandang bahwa perceraian itu sama seperti ba’in, dan begitu juga halnya perkawinan membolehkan istimta’ (bercumbu) dan thalaq mengharamkan istimta’ (bercumbu), karena antara nikah dan thalaq saling berlawanan. Kedua menurut Syafi’iyah melakukan hubungan suami isteri dalam masa thalaq raj’i tergolong kepada salah satu dosa besar (kabaa’ir). Akibat hukumnya menurut fiqh Syafi’iyah adalah dikenai hukuman ta’zir, yang mana ta’zir merupakan sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak disebut bentuk had dan kaffarat-nya. Hal ini disyaratkan si pelaku tahu bahwa yang dilakukannya itu haram, dan meyakini bahwa yang dilakukannya betul-betul haram. Akan tetapi jika si pelaku tidak tahu bahwa yang dilakukannya itu haram, maka ia tidak dikenai hukuman ta’zir karena alasan ke-’uzur-annya.
ORANG ISLAM MEWARISI DARI KAFIR DZIMMI MENURUT HANAFIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang memegang peranan yang sangat penting berkaitan dengan peralihan sesuatu, baik berwujud benda ataupun bukan benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini dalam literatur hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti: faraid, fikih mawaris, dan hukum al-waris.
Kewarisan sebagai sebuah bentuk peralihan kepemilikan harta atau benda-benda lainnya dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup merupakan bentuk peralihan yang diakomodir dalam Islam. Bentuk peralihan itu memperoleh kekuatan hukum baik dari al-Qur’an maupun hadis. Alasannya kerena sudah merupakan sunatullah bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, sedangkan orang yang meninggal itu memiliki harta dan sanak keluarga yang masih hidup. Salah satu tujuan peralihan itu agar tidak terbengkalai setelah terjadinya kematian pemilik harta. Adakalanya kematian itu disebabkan oleh faktor usia yang sudah tua, terserang penyakit, akibat kecelakaan, atau sebab-sebab yang lain.
Menurut ketentuan hukum Islam, hak untuk memperoleh kewarisan didasarkan atas adanya hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Hubungan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi, yakni:
1. Hubungan Nasab (pertalian darah)
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat kelahiran. Kewarisan berdasarkan hubungan nasab atau berdasarkan pertalian darah mencakup semua ahli waris yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian harta dalam Islam tidak membedakan seseorang dalam kewarisan baik dari segi fisik maupun status sosial kecuali karena pertalian darah semata. Bahkan bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya dengan keadaan hidup, memiliki hak yang sama dengan ahli waris yang sudah dewasa dalam menerima harta warisan.
2. Hubungan Perkawinan
Pernikahan yang sah menurut Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan perempuan. Selama pernikahan itu masih berlangsung, masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Setelah dilakukan akad nikah yang sah antara suami isteri sekalipun belum terjadi persetubuhan maka kedua belah pihak (suami isteri) mempunyai sebab adanya hak saling mewarisi. Menurut Hanafiyah perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan laki-laki untuk ber-istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.
3. Karena Wala’
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan karena seseorang memerdekakan budak (hamba sahaya) atau melaui perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan yang lain. Wala’ dalam bentuk pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah / ushubah-sababiyah (kewarisan karena memerdekakan seorang budak), sedangkan wala’ dalam bentuk kedua disebut dengan wala’ul muwalah (kewarisan karena adanya perjanjian tolong-menolong atau sumpah setia). Wala’ yang dapat mewarisi yaitu wala’ yang berdasarkan sukarela.
Akan tetapi, adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan. Sebab di samping adanya sebab, serta terpenuhinya syarat dan rukun, keberadaan hukum tersebut masih tergantung kepada hal lainnya yaitu bebas dari segala penghalang dan dalam hubungannya kepada pewaris tidak ada kerabat yang lebih utama dari padanya. Hubungan antara sebab dengan penghalang kewarisan terdapat perbincangan di kalangan ulama ushul fikih. Perbincangan itu timbul dalam memahami sangkut paut antara tiga hal, yaitu: sebab, hukum dan penghalang. Adanya sebab seharusnya hukum pun ada. Akan tetapi dengan adanya penghalang, maka hukum tidak terjadi atau dengan arti hukum tidak ada.
Orang yang terhalang mendapatkan warisan adalah orang yang terpenuhi sebab-sebab kewarisan, tetapi dia memiliki satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapatkan warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi kewarisan yaitu:
a. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
b. Pembunuhan
Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris membunuh pewarisnya secara zalim, maka disepakati bahwa dia tidak mewarisinya. Adapun selain pembunuhan secara sengaja, para ulama memperselisihkannya. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa setiap pembunuhan menghalangi kewarisan, meskipun dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan meskipun dilakukan dengan alasan yang hak, seperti had dan qishash. Sementara itu, mazhab Maliki berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi kewarisan adalah pembunuhan secara yang zalim, baik langsung maupun tidak langsung. Mazhab Hanbali berpendapat pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan tidak dengan hak, sedangkan pembunuhan dengan hak tidak menjadi penghalang, sebab pelakunya bebas dari sanksi akhirat. Menurut mazhab Hanafi, bahwa pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan yang dikenai sanksi qishash, sedangkan pembunuhan yang tidak berlaku padanya qishash (kalaupun disengaja seperti dilakukan anak-anak atau dalam keadaan terpaksa) tidak menghalangi kewarisan.
c. Perbedaan Agama
Para ahli fikih telah bersepakat bahwa, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang kewarisan. Berlainan agama antara Islam dengan agama selain Islam.
Maksud dari halangan perbedaan agama di sini ialah antara orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi, artinya seorang muslim tidak mewarisi harta pewaris non-muslim, begitu pula non-muslim tidak mewarisi harta pewaris yang muslim.
Adapun yang menjadi dasar dari halangan ini hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhari yaitu:
حدثنا أبو عاصم, عن ابن جريج, عن ابن شهاب, عن علي بن حسين, عن عمر بن عثمان, عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم: لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم(رواه البخاري)
Artinya:” Disampaikan Abu ‘Asyim, dari ibn Juraj, dari ibn Shihab, dari ‘Ali bin Husain, dari ‘Umar bin ‘Usman, dari Usamah bin Zaid berkata Nabi SAW: seorang Muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang Muslim” (H.R. Bukhari)
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang kewarisan. Jadi, seorang muslim tidak dapat mewarisi ahli warisnya yang non-muslim, begitu juga sebaliknya. Pendapat demikian dikemukakan oleh ulama-ulama termasyur dari golongan sahabat, tabi’in, dan imam-imam mazhab yang empat (al-Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi).
Petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu pada QS. al-Maidah (5) :5
Artinya:”(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Q.S. al-Maidah:5)
Mengingat bahwa antara hak kewarisan dengan hak perkawinan rapat hubungannya, maka dalam menghadapi hadis Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-muslim terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Semua mujtahid sama pendapatnya bahwa non-muslim tidak dapat mewarisi dari seorang muslim, hal ini sesuai dengan hadis Nabi tersebut di atas. Terkait dengan muslim mewarisi dari non-muslim tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Hanafiyah orang muslim boleh mewarisi dari kafir dzimmi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan juga dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘Ala ad-Duur al-Muhtar Syarh Tanwil al-Abshar menyatakan:
ير ث المسلم الكافر فان الذمى الذى لا وارث له فى دار الاسلام يرثه المسلمون
Artinya: “ Orang muslim boleh mewarisi harta orang kafir maka orang kafir dzimmi yang tidak mempunyai ahli waris di daerah Islam maka boleh orang muslim mewarisi hartanya.”
Akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang muslim. Melihat perbedaan pendapat dan bertolak belakangnya pendapat Hanafiyah di atas maka disini penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “ Orang Islam Mewarisi dari Kafir Dzimmi Menurut Hanafiyah“
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang memegang peranan yang sangat penting berkaitan dengan peralihan sesuatu, baik berwujud benda ataupun bukan benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini dalam literatur hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti: faraid, fikih mawaris, dan hukum al-waris.
Kewarisan sebagai sebuah bentuk peralihan kepemilikan harta atau benda-benda lainnya dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup merupakan bentuk peralihan yang diakomodir dalam Islam. Bentuk peralihan itu memperoleh kekuatan hukum baik dari al-Qur’an maupun hadis. Alasannya kerena sudah merupakan sunatullah bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, sedangkan orang yang meninggal itu memiliki harta dan sanak keluarga yang masih hidup. Salah satu tujuan peralihan itu agar tidak terbengkalai setelah terjadinya kematian pemilik harta. Adakalanya kematian itu disebabkan oleh faktor usia yang sudah tua, terserang penyakit, akibat kecelakaan, atau sebab-sebab yang lain.
Menurut ketentuan hukum Islam, hak untuk memperoleh kewarisan didasarkan atas adanya hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Hubungan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi, yakni:
1. Hubungan Nasab (pertalian darah)
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat kelahiran. Kewarisan berdasarkan hubungan nasab atau berdasarkan pertalian darah mencakup semua ahli waris yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian harta dalam Islam tidak membedakan seseorang dalam kewarisan baik dari segi fisik maupun status sosial kecuali karena pertalian darah semata. Bahkan bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya dengan keadaan hidup, memiliki hak yang sama dengan ahli waris yang sudah dewasa dalam menerima harta warisan.
2. Hubungan Perkawinan
Pernikahan yang sah menurut Islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan perempuan. Selama pernikahan itu masih berlangsung, masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang lain dalam memikul beban hidup bersama. Setelah dilakukan akad nikah yang sah antara suami isteri sekalipun belum terjadi persetubuhan maka kedua belah pihak (suami isteri) mempunyai sebab adanya hak saling mewarisi. Menurut Hanafiyah perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan laki-laki untuk ber-istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.
3. Karena Wala’
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan karena seseorang memerdekakan budak (hamba sahaya) atau melaui perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan yang lain. Wala’ dalam bentuk pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah / ushubah-sababiyah (kewarisan karena memerdekakan seorang budak), sedangkan wala’ dalam bentuk kedua disebut dengan wala’ul muwalah (kewarisan karena adanya perjanjian tolong-menolong atau sumpah setia). Wala’ yang dapat mewarisi yaitu wala’ yang berdasarkan sukarela.
Akan tetapi, adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan. Sebab di samping adanya sebab, serta terpenuhinya syarat dan rukun, keberadaan hukum tersebut masih tergantung kepada hal lainnya yaitu bebas dari segala penghalang dan dalam hubungannya kepada pewaris tidak ada kerabat yang lebih utama dari padanya. Hubungan antara sebab dengan penghalang kewarisan terdapat perbincangan di kalangan ulama ushul fikih. Perbincangan itu timbul dalam memahami sangkut paut antara tiga hal, yaitu: sebab, hukum dan penghalang. Adanya sebab seharusnya hukum pun ada. Akan tetapi dengan adanya penghalang, maka hukum tidak terjadi atau dengan arti hukum tidak ada.
Orang yang terhalang mendapatkan warisan adalah orang yang terpenuhi sebab-sebab kewarisan, tetapi dia memiliki satu sifat yang mencabut haknya untuk mendapatkan warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi kewarisan yaitu:
a. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
b. Pembunuhan
Pembunuhan secara sengaja yang diharamkan. Jika ahli waris membunuh pewarisnya secara zalim, maka disepakati bahwa dia tidak mewarisinya. Adapun selain pembunuhan secara sengaja, para ulama memperselisihkannya. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa setiap pembunuhan menghalangi kewarisan, meskipun dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan meskipun dilakukan dengan alasan yang hak, seperti had dan qishash. Sementara itu, mazhab Maliki berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi kewarisan adalah pembunuhan secara yang zalim, baik langsung maupun tidak langsung. Mazhab Hanbali berpendapat pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan tidak dengan hak, sedangkan pembunuhan dengan hak tidak menjadi penghalang, sebab pelakunya bebas dari sanksi akhirat. Menurut mazhab Hanafi, bahwa pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuhan yang dikenai sanksi qishash, sedangkan pembunuhan yang tidak berlaku padanya qishash (kalaupun disengaja seperti dilakukan anak-anak atau dalam keadaan terpaksa) tidak menghalangi kewarisan.
c. Perbedaan Agama
Para ahli fikih telah bersepakat bahwa, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang kewarisan. Berlainan agama antara Islam dengan agama selain Islam.
Maksud dari halangan perbedaan agama di sini ialah antara orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi, artinya seorang muslim tidak mewarisi harta pewaris non-muslim, begitu pula non-muslim tidak mewarisi harta pewaris yang muslim.
Adapun yang menjadi dasar dari halangan ini hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhari yaitu:
حدثنا أبو عاصم, عن ابن جريج, عن ابن شهاب, عن علي بن حسين, عن عمر بن عثمان, عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم: لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم(رواه البخاري)
Artinya:” Disampaikan Abu ‘Asyim, dari ibn Juraj, dari ibn Shihab, dari ‘Ali bin Husain, dari ‘Umar bin ‘Usman, dari Usamah bin Zaid berkata Nabi SAW: seorang Muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang Muslim” (H.R. Bukhari)
Hadis tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang kewarisan. Jadi, seorang muslim tidak dapat mewarisi ahli warisnya yang non-muslim, begitu juga sebaliknya. Pendapat demikian dikemukakan oleh ulama-ulama termasyur dari golongan sahabat, tabi’in, dan imam-imam mazhab yang empat (al-Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi).
Petunjuk yang pasti dalam al-Qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu pada QS. al-Maidah (5) :5
Artinya:”(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Q.S. al-Maidah:5)
Mengingat bahwa antara hak kewarisan dengan hak perkawinan rapat hubungannya, maka dalam menghadapi hadis Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-muslim terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Semua mujtahid sama pendapatnya bahwa non-muslim tidak dapat mewarisi dari seorang muslim, hal ini sesuai dengan hadis Nabi tersebut di atas. Terkait dengan muslim mewarisi dari non-muslim tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Hanafiyah orang muslim boleh mewarisi dari kafir dzimmi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan juga dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘Ala ad-Duur al-Muhtar Syarh Tanwil al-Abshar menyatakan:
ير ث المسلم الكافر فان الذمى الذى لا وارث له فى دار الاسلام يرثه المسلمون
Artinya: “ Orang muslim boleh mewarisi harta orang kafir maka orang kafir dzimmi yang tidak mempunyai ahli waris di daerah Islam maka boleh orang muslim mewarisi hartanya.”
Akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang muslim. Melihat perbedaan pendapat dan bertolak belakangnya pendapat Hanafiyah di atas maka disini penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “ Orang Islam Mewarisi dari Kafir Dzimmi Menurut Hanafiyah“
ORANG ISLAM MEWARISI DARI KAFIR DZIMMI MENURUT HANAFIYAH
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Orang Islam Mewarisi dari Kafir Dzimmi Menurut Hanafiyah” Disusun oleh HAPPY SEPTINA SARI, SHI, BP. 308.268, yang penulis maksud dengan skripsi ini secara keseluruhan adalah kenapa Hanafiyah membolehkan orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi dan apa dasar pembolehannya.
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh hadis Nabi dari Usamah bin Zaid riwayat al-Bukhari menjelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim. Hadis tersebut menunjukkan bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang kewarisan. Semua mujtahid baik dari kalangan sahabat maupun imam-imam mazhab yang empat (al-Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi) sama pendapatnya bahwa non-muslim tidak dapat mewarisi dari seorang muslim. Dalam hal muslim mewarisi dari non-muslim tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Hanafiyah orang muslim boleh mewarisi dari kafir dzimmi.
Berdasarkan latarbelakang di atas, persoalan warisan yang akan penulis teliti adalah kenapa Hanafiyah membolehkan orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi dan apa dasar hukum pembolehannya. Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian pustaka (library research) yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis dan pendapat para pakar yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik sumber primer seperti dalam kitab al-Mabsuth dan Radd al-Mukhtar ‘Ala ad-Duur al-Muhtar Syarh Tanwil al-Abshar, dan sumber sekunder seperti buku Fikih Sunnah, dan Hukum Kewarisan Islam.
Dari hasil penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa penyebab Hanafiyah berpendapat boleh orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi adalah bahwa Hanafiyah memakai hadis Nabi tentang kedudukan orang muslim itu dipandang lebih tinggi daripada orang non-muslim, sehingga dalam persoalan hartapun orang muslim mempunyai wewenang atau kekuasaan terhadap harta orang kafir dzimmi dan tidak sebaliknya. Berdasarkan hadis yang dipakai Hanafiyah tentang “Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang” dan juga hadis “Islam itu tinggi tidak ada yang lebih tinggi dari Islam” merupakan hadis yang bersifat umum tidak hanya dalam hak kewarisan tetapi juga terhadap hal apapun tidak ada yang membedakan makna kafir dzimmi yang dimaksud atau kafir harby.
Skripsi ini berjudul “Orang Islam Mewarisi dari Kafir Dzimmi Menurut Hanafiyah” Disusun oleh HAPPY SEPTINA SARI, SHI, BP. 308.268, yang penulis maksud dengan skripsi ini secara keseluruhan adalah kenapa Hanafiyah membolehkan orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi dan apa dasar pembolehannya.
Penulisan ini dilatarbelakangi oleh hadis Nabi dari Usamah bin Zaid riwayat al-Bukhari menjelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim. Hadis tersebut menunjukkan bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang kewarisan. Semua mujtahid baik dari kalangan sahabat maupun imam-imam mazhab yang empat (al-Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi) sama pendapatnya bahwa non-muslim tidak dapat mewarisi dari seorang muslim. Dalam hal muslim mewarisi dari non-muslim tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Hanafiyah orang muslim boleh mewarisi dari kafir dzimmi.
Berdasarkan latarbelakang di atas, persoalan warisan yang akan penulis teliti adalah kenapa Hanafiyah membolehkan orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi dan apa dasar hukum pembolehannya. Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian pustaka (library research) yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis dan pendapat para pakar yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik sumber primer seperti dalam kitab al-Mabsuth dan Radd al-Mukhtar ‘Ala ad-Duur al-Muhtar Syarh Tanwil al-Abshar, dan sumber sekunder seperti buku Fikih Sunnah, dan Hukum Kewarisan Islam.
Dari hasil penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa penyebab Hanafiyah berpendapat boleh orang Islam mewarisi dari kafir dzimmi adalah bahwa Hanafiyah memakai hadis Nabi tentang kedudukan orang muslim itu dipandang lebih tinggi daripada orang non-muslim, sehingga dalam persoalan hartapun orang muslim mempunyai wewenang atau kekuasaan terhadap harta orang kafir dzimmi dan tidak sebaliknya. Berdasarkan hadis yang dipakai Hanafiyah tentang “Islam itu terus bertambah dan tidak berkurang” dan juga hadis “Islam itu tinggi tidak ada yang lebih tinggi dari Islam” merupakan hadis yang bersifat umum tidak hanya dalam hak kewarisan tetapi juga terhadap hal apapun tidak ada yang membedakan makna kafir dzimmi yang dimaksud atau kafir harby.
Minggu, 03 Mei 2015
Selasa, 28 April 2015
Langganan:
Postingan (Atom)